Orang-orang
yang bijaksana sering mengatakan bahwa "kesehatan
adalah harta yang paling berharga dalam hidup ini". Sehat dan bugar
adalah dua kunci yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang agar hidup ini
menjadi lebih bermakna. Untuk mewujudkannya antara lain dapat kita lakukan
melalui pengaturan makanan.
Dalam
kehidupan modern ini, filosofi makan telah
mengalami pergeseran, di mana makan bukanlah sekadar untuk kenyang, tetapi yang
lebih utama adalah untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran yang optimal.
Fungsi pangan yang utama bagi manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan zat-zat gizi
tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan bobot tubuh.
Fungsi pangan yang demikian dikenal dengan istilah fungsi
primer (primary function).
Selain
memiliki fungsi primer, bahan pangan sebaiknya juga memenuhi fungsi sekunder (secondary function), yaitu
memiliki penampakan dan cita rasa yang baik. Sebab, bagaimanapun tingginya
kandungan gizi suatu bahan pangan akan ditolak oleh konsumen bila penampakan
dan cita rasanya tidak menarik dan memenuhi selera konsumennya. Itulah sebabnya
kemasan dan cita rasa menjadi faktor penting dalam menentukan apakah suatu
bahan pangan akan diterima atau tidak oleh masyarakat konsumen.
Seiring
dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat,
maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan
yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi
gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga harus
memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Fungsi yang demikian
dikenal sebagai fungsi tertier (tertiary function).
Saat ini
banyak dipopulerkan bahan pangan yang mempunyai fungsi
fisiologis tertentu di dalam tubuh, misalnya untuk menurunkan tekanan
darah, menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah, meningkatkan
penyerapan kalsium, dan lain-lain. Semakin tinggi tingkat kemakmuran dan
kesadaran seseorang terhadap kesehatan, maka tuntutan terhadap ketiga fungsi
bahan pangan tersebut akan semakin tinggi pula.
Apa itu
pangan fungsional?
Dasar
pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan, bukan
hanya bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya
terhadap kesehatan tubuhnya (Goldberg, 1994). Saat ini pangan telah diandalkan
sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan bila dimungkinkan,
pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit
tertentu.
Kenyataan
tersebut menuntut suatu bahan pangan tidak lagi sekadar memenuhi kebutuhan
dasar tubuh (yaitu bergizi dan lezat), tetapi juga dapat bersifat fungsional.
Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (fungtional foods), yang
akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia.
Kepopuleran
tersebut ditunjang oleh suatu keyakinan bahwa di dalam pangan fungsional
terkandung gizi-gizi dan zat-zat non gizi yang sangat penting khasiatnya untuk
kesehatan dan kebugaran tubuh. Fenomena pangan fungsional telah melahirkan
paradigma baru bagi perkembangan ilmu dan teknologi pangan, yaitu dilakukannya
berbagai modifikasi produk olahan pangan menuju sifat fungsional. Saat ini, di
Indonesia telah banyak dijumpai produk pangan fungsional, baik yang diproduksi
di dalam negeri maupun impor.
Sejak
tahun 1984, Pemerintah Jepang telah menyusun suatu alternatif pengembangan
pangan fungsional dengan tujuan untuk memperbaiki fungsi-fungsi fisiologis,
agar dapat melindungi tubuh dari penyakit, khususnya penyakit degeneratif
seperti jantung koroner, hipertensi, diabetes, osteoporosis, dan kanker.
Diharapkan dengan pengembangan pangan fungsional dapat meningkatkan derajat
kesehatan serta menekan biaya medis bagi masyarakat Jepang.
Sampai
saat ini belum ada definisi pangan fungsional yang disepakati secara universal.
The International Food Information (IFIC)
mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan manfaat
kesehatan di luar zat-zat dasar. Menurut konsensus pada The First International
Conference on East-West Perspective on Functional Foods tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan
komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang
diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya.
Definisi pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara
alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang
berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis
tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Serta dikonsumsi sebagaimana layaknya
makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna,
tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain tidak
memberikan kontraindikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan
yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya.
Golongan senyawa yang dianggap mempunyai fungsi-fungsi
fisiologis tertentu
di dalam pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi dasar
yang terkandung dalam pangan yang bersangkutan, yaitu:
(1) serat
pangan (deitary fiber),
(2)
Oligosakarida,
(3) gula
alkohol (polyol),
(4) asam
lemak tidak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acids = PUFA),
(5)
peptida dan protei tertentu,
(6)
glikosida dan isoprenoid,
(7)
polifenol dan isoflavon,
(8) kolin
dan lesitin,
(9)
bakteri asam laktat,
(10)
phytosterol, dan
(11)
vitamin dan mineral tertentu.
Meskipun
mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk
kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Badan POM, 2001).
Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan dan obat berdasarkan
penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Kalau obat fungsinya terhadap
penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional hanya bersifat membantu
pencegahan suatu penyakit.
Persyaratan
pangan fungsional
Jepang
merupakan negara yang paling tegas dalam memberi batasan mengenai pangan
fungsional, paling maju dalam perkembangan industrinya.
Para ilmuwan Jepang
menekankan pada tiga fungsi dasar pangan fungsional, yaitu:
1.
sensory
(warna dan penampilannya yang menarik dan cita rasanya yang enak),
2.
nutritional
(bernilai gizi tinggi), dan
3.
physiological
(memberikan pengaruh fisiologis yang menguntungkan bagi tubuh).
Beberapa
fungsi fisiologis yang diharapkan dari pangan fungsional antara lain adalah:
1.
pencegahan
dari timbulnya penyakit,
2.
meningkatnya
daya tahan tubuh,
3.
regulasi
kondisi ritme fisik tubuh,
4.
memperlambat
proses penuaan, dan
5.
menyehatkan
kembali (recovery).
Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus
dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional
adalah:
(1) Harus merupakan produk pangan
(bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang berasal dari bahan (ingredien)
alami,
(2) Dapat dan layak dikonsumsi
sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari,
(3) Mempunyai fungsi tertentu pada
saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam proses tubuh tertentu,
seperti: memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu,
membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi
fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan.
Dari
konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan, jelaslah bahwa pangan
fungsional tidak sama dengan food supplement atau obat. Pangan fungsional dapat
dikonsumsi tanpa dosis tertentu, dapat dinikmati sebagaimana makanan pada
umumnya, serta lezat dan bergizi.
Peranan
dari makanan fungsional bagi tubuh semata-mata bertumpu kepada komponen gizi
dan non gizi yang terkandung di dalamnya. Komponen-komponen tersebut umumnya
berupa komponen aktif yang keberadaannya dalam makanan bisa terjadi secara
alami, akibat penambahan dari luar, atau karena proses pengolahan (akibat
reaksi-reaksi kimia tertentu atau aktivitas mikroorganisme).
Contoh-contoh komponen aktif yang terdapat secara alami dalam
bahan pangan adalah:
1) nerodiol
dan linalool pada teh hijau yang berperan untuk mencegah karies gigi dan
mencegah kanker;
2) komponen
sulfur pada bawang-bawangan yang berfungsi untuk mencegah agregasi platelet dan
menurunkan kadar kolesterol;
3) kurkumin
pada rimpang kunyit dan l-tumeron pada rimpang temulawak yang berkhasiat untuk
pengobatan berbagai penyakit;
4) daidzein
dan genestein pada tempe yang berperan untuk menurunkan kolesterol dan mencegah
kanker;
5) serat
pangan (dietary fiber) dari berbagai sayuran, buah-buahan, serealia, dan
kacang-kacangan yang berperan untuk pencegahan timbulnya berbagai penyakit yang
berkaitan dengan proses pencernaan; serta
6) berbagai
komponen volatil yang terdapat pada bunga melati (jasmin), chrysant dan
chamomile yang aromanya sering digunakan sebagai aromaterapi.
Contoh komponen zat gizi yang sering ditambahkan ke dalam bahan
makanan adalah:
1) vitamin
A, vitamin E, beta-karoten, flavonoid, selenium, dan seng (zinc) yang telah
diketahui peranannya sebagai antioksidan untuk mengatasi serangan radikal bebas
yang menjurus kepada timbulnya berbagai penyakit kanker;
2) asam
lemak omega-3 dari minyak ikan laut untuk menurunkan kolesterol dan meningkatkan
kecerdasan otak, terutama pada bayi dan anak balita;
3) kalsium
untuk menjaga kesehatan tulang dan gigi, mencegah osteo- porosis (kerapuhan
tulang) dan tekanan darah tinggi;
4) asam
folat untuk mencegah anemia dan kerusakan syarat;
5) zat
besi untuk mencegah anemia gizi;
6) iodium
untuk mencegah gondok dan kretinisme (kekerdilan);
7) oligosakarida
untuk membantu pertumbuhan mikroflora yang dibutuhkan usus (bifido bacteria).
Contoh komponen aktif yang keberadaannya dalam bahan pangan
akibat proses pengolahan adalah zat-zat tertentu pada produk fermentasi susu (yogurt, kefir),
fermentasi kedelai, dan lain-lain.
Pangan
tradisional yang fungsional
Pangan
fungsional dapat berupa makanan dan minuman yang berasal dari hewani atau
nabati. Walaupun konsep pangan fungsional baru populer beberapa tahun
belakangan ini, tetapi sesungguhnya banyak jenis makanan tradisional yang
memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai pangan fungsional.
Contoh
pangan tradisional Indonesia yang memenuhi persyaratan pangan fungsional
adalah: minuman beras kencur, temulawak, kunyit-asam, serbat, dadih (fermentasi
susu khas Sumatera Barat), dali (fermentasi susu kerbau khas Sumatera Utara),
sekoteng atau bandrek, tempe, tape, jamu, dan lain-lain. Contoh makanan
tradisional mancanegara yang dapat dikategorikan sebagai makanan fungsional
adalah: yogurt, kefir, koumiss, dan lain-lain.
Beberapa
contoh pangan fungsional modern adalah:
1.
pangan
tanpa lemak, rendah kolesterol dan rendah trigliserida;
2.
breakfast
cereals dan biskuit yang diperkaya serat pangan;
3.
mi instan
yang diperkaya dengan berbagai vitamin dan mineral;
4.
permen
yang mengandung zat besi, vitamin, dan fruktooligosakarida;
5.
pasta
yang diperkaya dietary fiber;
6.
sosis
yang diperkaya dengan oligosakarida, serat atau kalsium kulit telur;
7.
minuman
yang mengandung suplemen dietary fiber, mineral dan vitamin;
8.
cola
rendah kalori dan cola tanpa kafein;
9.
sport
drink yang diperkaya protein;
10.
minuman
isotonic dengan keseimbangan mineral;
11.
minuman
untuk pencernaan;
12.
minuman
pemulih energi secara kilat;
13.
teh yang
diperkaya dengan kalsium, dan lain-lain.
Silakan
dikonsumsi
Sesuai
dengan definisinya bahwa pangan fungsional dapat dikonsumsi tanpa dosis
tertentu, maka melibatkan pangan fungsional dalam menu sehari-hari adalah
tindakan yang sangat baik dan tepat dari segi gizi. Konsumsi pangan fungsional
dapat dilakukan oleh semua kelompok umur (kecuali bayi). Diversifikasi konsumsi
pangan fungsional perlu diperkenalkan sedini mungkin sejak masa kanak-kanak,
agar setelah dewasa memperoleh manfaat dan khasiat yang optimal, yaitu sehat
dan bugar, produktif, mandiri, serta berumur panjang.
Di masa
mendatang kehadiran pangan fungsional atau yang diklaim sebagai pangan
fungsional akan semakin semarak di Tanah Air kita ini. Sebagai konsumen yang
bijak dan sadar akan pentingnya gizi bagi kesehatan, maka selayaknya kita
memperhitungkan betul manfaat dari setiap rupiah yang kita keluarkan untuk
membeli bahan makanan tersebut.
Kita
harus terhindar dari perbuatan membeli makanan yang semata-mata didasari atas
pertimbangan selera dan prestise, tetapi tidak berarti bagi pencapaian tingkat
kesehatan yang optimal. Membaca label merupakan tindakan yang harus kita
lakukan sebelum memutuskan untuk membeli suatu produk.
Adapun
keterangan yang wajib dicantumkan pada label adalah: nama pangan, berat/isi
bersih, nama dan alamat perusahaan, daftar bahan yang digunakan, nomor
pendaftaran, waktu kedaluwarsa, kode produksi, informasi nilai gizi, keterangan
tentang peruntukan (jika ada), cara penggunaan (jika ada), keterangan lain jika
perlu diketahui (termasuk peringatan), dan penyimpanan.
Prof.
Made Astawan,
Guru
Besar di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi-IPB
© KOMPAS